Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan child-free mulai mendapatkan perhatian lebih besar di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Istilah child-free merujuk pada keputusan individu atau pasangan untuk tidak memiliki anak, baik secara sementara maupun permanen. Meski awalnya lebih banyak dikaitkan dengan perempuan, kini semakin banyak pria yang juga menyuarakan keputusan serupa. Namun, apa yang mendorong pria untuk memilih hidup child-free? Apakah ini sekadar tren atau keputusan yang didasarkan pada alasan personal yang mendalam?
Perubahan Pandangan tentang Maskulinitas
Secara tradisional, maskulinitas sering dihubungkan dengan peran sebagai kepala keluarga dan ayah. Namun, dengan semakin berkembangnya pemikiran tentang kesetaraan gender dan kebebasan individu, pandangan ini mulai bergeser. Banyak pria yang merasa tidak lagi terikat oleh harapan sosial untuk menjadi ayah dan melihat bahwa hidup child-free adalah pilihan yang sah. “Saya merasa memiliki anak bukanlah kewajiban yang harus saya penuhi untuk membuktikan diri sebagai pria sejati,” ujar Ardi, seorang profesional muda berusia 32 tahun dari Malang. “Bagi saya, maskulinitas adalah tentang bagaimana saya menjalani hidup sesuai dengan nilai dan tujuan saya sendiri.” Ardi adalah satu dari banyak pria yang merasa bahwa menjadi child-free memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada pengembangan diri, karier, atau bahkan mengejar hobi dan pengalaman hidup yang tidak terikat oleh tanggung jawab membesarkan anak.

Alasan di Balik Keputusan Child-Free
Keputusan untuk hidup child-free seringkali berasal dari berbagai faktor, mulai dari alasan ekonomi, lingkungan, hingga preferensi gaya hidup. Dalam wawancara dengan beberapa pria yang memilih jalur ini, mereka mengungkapkan alasan-alasan berikut Faktor Ekonomi biaya membesarkan anak yang semakin tinggi menjadi salah satu pertimbangan utama. “Dengan kondisi ekonomi saat ini, saya tidak yakin bisa memberikan kehidupan terbaik untuk anak,” kata Andi, seorang pekerja lepas di Pakisaji, Kepedulian Lingkungan Ada pula pria yang memilih child-free karena kekhawatiran terhadap dampak lingkungan. “Dengan populasi dunia yang terus bertambah, saya merasa lebih baik berkontribusi dengan cara lain untuk masa depan bumi,” ungkap Dimas, seorang aktivis lingkungan., Keseimbangan Hidup Banyak pria merasa bahwa hidup tanpa anak memungkinkan mereka menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. “Saya tidak ingin kehilangan kebebasan saya. Anak adalah tanggung jawab besar yang memerlukan dedikasi seumur hidup,” jelas Bayu, seorang wirausahawan di Kepanjen.
Baca Juga: Cara Memahami Wanita, Dijamin Gak Bikin Ribet!
Tekanan Sosial dan Stigma
Meski semakin banyak pria yang terbuka tentang pilihan ini, tekanan sosial dan stigma masih menjadi tantangan besar. Di masyarakat yang menjunjung tinggi nilai keluarga, keputusan untuk tidak memiliki anak sering dianggap aneh atau egois. “Saya sering ditanya, ‘Kapan punya anak?’ seolah-olah itu adalah tujuan hidup yang wajib,” kata irfan sebagai narasumber dalam wawancara online. “Kadang saya merasa harus memberikan penjelasan panjang lebar, padahal ini adalah keputusan pribadi.” Bagi sebagian pria, tekanan ini bahkan datang dari keluarga terdekat. Orang tua atau kerabat seringkali menganggap anak sebagai lambang keberlanjutan generasi, sehingga pilihan child-free dapat menimbulkan konflik atau kekecewaan.
Apakah Child-Free Sekadar Tren?
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah keputusan hidup child-free ini hanya sekadar tren atau benar-benar pilihan personal yang bertahan lama. Fenomena ini memang meningkat seiring dengan perubahan budaya dan akses informasi yang lebih luas. Media sosial juga berperan besar dalam memberikan ruang bagi individu untuk berbagi pengalaman mereka, termasuk mereka yang memilih child-free. Namun, Dikutip dari antaranews.com menyatakan bahwa fenomena child-free lebih dari sekadar tren. “Keputusan untuk hidup child-free biasanya didasarkan pada refleksi mendalam tentang nilai, prioritas, dan tujuan hidup seseorang,” ujarnya. “Ini bukan sesuatu yang diambil secara sembarangan, melainkan hasil dari proses pemikiran yang matang.”
Baca Juga : Independent Woman, Mengikis atau Merekonstruksi Maskulinitas
Dampak pada Hubungan dan Masyarakat
Keputusan untuk hidup child-free juga membawa dampak pada dinamika hubungan. Bagi pria yang sudah menikah, penting untuk memiliki komunikasi yang jelas dengan pasangan tentang pilihan ini. “Keputusan ini harus didasarkan pada kesepakatan bersama. Jika tidak, bisa menjadi sumber konflik dalam pernikahan,” kata Ratna. Di sisi lain, semakin banyaknya pria yang memilih childfree juga mempengaruhi cara masyarakat memandang keluarga. Konsep keluarga tradisional mulai digantikan oleh definisi yang lebih inklusif, termasuk pasangan tanpa anak atau individu yang hidup sendiri.
Penutup
Hidup child-free di kalangan pria mencerminkan perubahan besar dalam cara pandang terhadap kehidupan, keluarga, dan tanggung jawab sosial. Keputusan ini tidak sekadar tren, tetapi lebih merupakan hasil dari refleksi mendalam dan pemikiran matang tentang prioritas hidup. Dalam menghadapi tekanan sosial dan stigma, pria child-free menunjukkan bahwa keberanian untuk menjalani hidup sesuai keinginan sendiri adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. Selain itu, fenomena ini membuka diskusi baru tentang makna keluarga, maskulinitas, dan kebebasan individu di era modern. Dalam masyarakat yang terus berkembang, penting untuk memberikan ruang bagi semua orang untuk membuat keputusan hidup mereka tanpa rasa takut akan penilaian atau tekanan. Dengan menghormati pilihan child-free, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi semua individu.
Penulis: Defani Yusanto
Editor: Defani Yusanto