Saat Lonceng Pernikahan Tak Lagi Menjadi Tujuan Hidup
Di tengah tuntutan masyarakat yang masih memandang pernikahan sebagai indikator kedewasaan dan kesuksesan hidup, muncul satu fenomena sosial yang kini menjadi perbincangan: semakin banyak pria memilih untuk tidak menikah. Dianggap tabu beberapa dekade lalu, kini keputusan itu justru menjadi bagian dari narasi hidup yang normal dan bahkan dirayakan di beberapa kalangan. Tapi mengapa hal ini bisa terjadi?
Tekanan Ekonomi, Pernikahan Terasa Tidak Terjangkau
Salah satu faktor paling mendasar dari keputusan pria untuk tidak menikah adalah persoalan ekonomi. Biaya hidup yang terus melonjak, harga rumah yang tak terjangkau, serta ketidakstabilan pekerjaan menjadi alasan utama mengapa pria merasa belum siap atau bahkan tidak ingin menikah. Di Indonesia sendiri, survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa 62% pria berusia 25–35 tahun menyatakan alasan finansial sebagai hambatan utama dalam pernikahan.
“Dulu orang tua bisa menikah di umur 20-an awal dengan pekerjaan tetap. Sekarang, lulus kuliah saja belum tentu langsung dapat kerja, apalagi menikah,” ujar Rizky (28), seorang pekerja kontrak di Jakarta.
Pernikahan bukan hanya soal pesta dan mas kawin. Setelah menikah, ada komitmen finansial jangka panjang: sewa rumah, kebutuhan sehari-hari, pendidikan anak, hingga kesehatan keluarga. Beban ini terasa berat, terutama bagi pria di kelas menengah bawah atau pekerja informal. Di tengah bayang-bayang impian membangun rumah tangga, banyak pria muda hari ini justru dihadapkan pada realitas pahit: menikah bukan sekadar perkara cinta dan kesiapan emosional, tapi tentang uang yang tak pernah cukup. Dalam benak mereka, pernikahan semakin hari terasa seperti kemewahan yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang beruntung secara finansial.
Biaya pernikahan di Indonesia, meski bisa disederhanakan, tetap menimbulkan tekanan. Banyak keluarga masih menganggap pesta pernikahan sebagai ajang gengsi sosial. Tak sedikit orang tua yang berharap acara resepsi diadakan di gedung, lengkap dengan rias pengantin, dokumentasi, katering, dan hiburan. Sebuah pesta sederhana sekalipun, jika dikalkulasi, bisa menelan biaya antara Rp30 juta hingga Rp70 juta. Jumlah ini tentu menjadi beban besar, terutama bagi pria dengan penghasilan setara UMR. Namun tekanan itu tak berhenti di hari pernikahan. Justru, setelah ijab kabul, beban sesungguhnya baru dimulai. Menjalani kehidupan rumah tangga berarti harus memikirkan tempat tinggal, biaya makan, tagihan bulanan, transportasi, dan tentu saja kebutuhan darurat. Sering kali, pasangan baru harus hidup di rumah kontrakan kecil dengan perabot seadanya, menyesuaikan gaya hidup dengan sisa uang setelah gaji dibagi habis-habisan. Jika penghasilan sang suami hanya Rp4–5 juta per bulan dan sang istri belum bekerja, maka hampir seluruh pendapatan akan habis hanya untuk bertahan hidup.
Dalam banyak kasus, pria muda juga menanggung tanggung jawab lain bahkan sebelum menikah. Mereka harus membantu ekonomi keluarga, membayar utang orang tua, menyekolahkan adik, atau bahkan menanggung biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit. Kondisi ini menjadikan pernikahan bukan lagi prioritas utama, melainkan sesuatu yang ditunda demi menjaga kewarasan dan keberlangsungan hidup sehari-hari. Tak dapat dipungkiri, sistem sosial kita masih meletakkan beban ekonomi di pundak pria. Dianggap sebagai tulang punggung keluarga, pria diharapkan sudah mapan secara finansial sebelum menikah. Harapan ini kadang tak masuk akal. Sebab, di tengah naiknya harga rumah, memburuknya akses kerja yang layak, dan minimnya upah yang tak sebanding dengan biaya hidup, menjadi “mapan” adalah cita-cita yang kian menjauh. Akibatnya, banyak pria merasa belum layak menjadi suami, bukan karena kurang cinta, tapi karena merasa belum bisa menjamin keamanan finansial bagi pasangannya.
Beberapa pria yang sebenarnya sudah memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan stabil pun tetap enggan melangkah ke pelaminan. Mereka takut kehilangan kebebasan finansial yang selama ini mereka perjuangkan. Tak sedikit pula yang melihat pengalaman buruk orang tua mereka pernikahan yang hancur karena persoalan uang dan merasa trauma untuk mengulangi pola serupa. Pemerintah memang menawarkan sejumlah program seperti rumah subsidi dan insentif untuk keluarga muda. Namun akses terhadap program-program tersebut tidak mudah, apalagi bagi pria di pedesaan atau sektor informal. Minimnya informasi dan birokrasi yang rumit membuat program ini terasa jauh dari jangkauan.
Pada akhirnya, tekanan ekonomi membuat pernikahan terasa seperti proyek besar yang hanya bisa dilaksanakan oleh mereka yang memiliki modal cukup. Sementara banyak pria harus menunda, menimbang ulang, atau bahkan memilih untuk tidak menikah sama sekali, bukan karena tidak ingin, tetapi karena realita hidup belum memberi mereka ruang yang aman untuk memulainya.
Gaya Hidup Individualis, Fokus pada Diri Sendiri
Generasi sekarang terutama generasi milenial dan Gen Z cenderung menganut pola pikir individualis. Mereka lebih suka membangun jati diri, mengejar passion, dan menjalani hidup tanpa keterikatan. Pernikahan, yang dahulu dianggap sebagai puncak kedewasaan, kini dilihat sebagai penghalang potensi diri bagi sebagian pria. Di era modern yang serba cepat, muncul gelombang gaya hidup baru di kalangan pria: memilih untuk memprioritaskan diri sendiri daripada memenuhi ekspektasi sosial seperti pernikahan. Perubahan ini tidak sekadar soal tren sesaat, melainkan cerminan dari pergeseran nilai yang lebih dalam, terutama di kalangan generasi muda perkotaan.
Banyak pria masa kini tumbuh dengan pemahaman bahwa kebahagiaan pribadi tidak selalu harus dibangun lewat relasi pernikahan. Mereka mulai mengevaluasi ulang konsep “dewasa” dan “sukses” yang dulu begitu kaku. Jika dulu pria dewasa identik dengan memiliki istri, anak, dan rumah, kini makna kedewasaan lebih sering dikaitkan dengan pencapaian personal, stabilitas mental, serta kemampuan menjalani hidup dengan cara yang otentik.
Fokus pada diri sendiri menjadi salah satu bentuk perlawanan halus terhadap tekanan sosial yang menuntut pria untuk selalu memberi, bekerja tanpa henti, dan menjadi penopang utama keluarga. Dalam keseharian, mereka menikmati kebebasan untuk mengatur waktu, mengejar hobi, mendalami minat, hingga mengembangkan karier tanpa gangguan. Rutinitas seperti berolahraga rutin, traveling sendiri, belajar hal baru secara daring, atau bahkan menikmati waktu luang di rumah tanpa interupsi menjadi bagian penting dari gaya hidup ini.
Pilihan untuk hidup individualis ini tak selalu berarti egois. Justru sebaliknya, banyak pria yang sadar bahwa mereka belum siap untuk berbagi hidup dengan orang lain secara penuh. Alih-alih memaksakan diri menikah dan gagal berkomitmen, mereka memilih untuk memperbaiki diri terlebih dahulu. Dalam sudut pandang ini, menunda atau bahkan tidak menikah sama sekali dianggap sebagai bentuk tanggung jawab emosional baik terhadap diri sendiri maupun calon pasangan yang mungkin hadir di masa depan.
Perkembangan teknologi juga memperkuat pola ini. Di era digital, pria bisa mendapatkan banyak hal yang dulu hanya bisa dicapai melalui relasi keluarga. Hiburan tersedia 24 jam, jaringan sosial bisa dibangun lewat media daring, bahkan dukungan emosional bisa didapat dari komunitas online atau terapi virtual. Kehadiran aplikasi kencan pun membuat banyak pria tidak lagi merasa perlu “mengikat” hubungan secara formal demi kebutuhan biologis atau sosial.
Selain itu, narasi populer di media turut memberi pembenaran terhadap gaya hidup individualis ini. Film, musik, buku, hingga influencer digital banyak yang merayakan kehidupan mandiri dan pencapaian personal. Sosok pria yang memilih sendiri namun sukses, sehat mental, dan stabil secara finansial semakin mendapat tempat dalam imajinasi publik. Ini memberikan contoh bahwa menjalani hidup sendirian pun bisa bermakna dan membanggakan.
Namun tentu saja, gaya hidup individualis ini tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak menganggapnya sebagai bentuk ketakutan berkomitmen atau pelarian dari tanggung jawab sosial. Tapi dari sudut pandang pria yang menjalaninya, keputusan tersebut justru didasari oleh perenungan panjang. Mereka tak ingin menikah hanya karena tekanan, tapi ingin jika suatu saat mengambil langkah itu, maka dilakukan atas dasar kesadaran penuh, bukan keterpaksaan.
Dalam banyak wawancara dan survei, pria yang memilih untuk tidak menikah kerap mengungkapkan bahwa mereka lebih bahagia, merasa lebih utuh, dan punya kontrol lebih besar atas hidup mereka. Mereka tidak lagi melihat hidup sendiri sebagai kesepian, tetapi sebagai kebebasan. Mereka menikmati ruang yang tidak dibatasi kompromi rumah tangga dan bisa mengaktualisasi diri secara maksimal.
Gaya hidup individualis ini bukan sekadar fenomena personal, tetapi juga cerminan dari zaman yang berubah. Saat dunia semakin menghargai keseimbangan hidup, kesehatan mental, dan kebebasan berekspresi, maka pilihan untuk fokus pada diri sendiri pun menjadi sah dan relevan. Dalam konteks ini, pria yang memilih untuk tidak menikah bukan berarti gagal, tetapi sedang menjalani hidup dengan cara yang berbeda yang tak kalah bermakna.
“Saya ingin traveling, belajar skill baru, dan membangun bisnis dulu. Pernikahan bisa menunda semua itu,” kata Denny (30), seorang digital nomad.
Budaya hustle, pencapaian pribadi, dan kebebasan menjadi nilai baru. Pria merasa bisa hidup bermakna dan produktif tanpa harus menikah. Ini diperkuat dengan narasi-narasi di media sosial dan budaya populer yang merayakan hidup lajang.
Trauma dan Pengalaman Buruk Masa Lalu
Tak sedikit pria yang memiliki pengalaman pahit di masa kecil seperti melihat pertengkaran orang tua, perceraian, atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga yang akhirnya membentuk ketakutan terhadap pernikahan. Dalam beberapa kasus, trauma juga bisa berasal dari ekspektasi berlebihan yang pernah mereka tanggung dalam hubungan sebelumnya. Ada pria yang merasa tertekan karena harus menjadi “penyelamat” pasangannya baik secara finansial, emosional, atau sosial. Ketika hubungan itu kandas, mereka tak hanya kehilangan cinta, tetapi juga harga diri. Akibatnya, pernikahan dianggap sebagai beban berat, bukan kerja sama yang sehat. Untuk menjaga kestabilan batin, mereka akhirnya memutuskan untuk tidak mengambil risiko yang sama lagi.
Tak jarang, trauma ini tertanam begitu dalam hingga memengaruhi cara mereka memandang diri sendiri. Ada pria yang merasa dirinya tidak layak dicintai, tidak cukup baik untuk menjadi suami, atau takut akan gagal menjadi kepala keluarga. Perasaan ini tidak selalu terlihat dari luar, karena banyak yang tetap tampil percaya diri dan sukses secara sosial. Namun di balik pencapaian itu, tersimpan keraguan dan luka yang belum tuntas disembuhkan. Dalam dunia yang masih jarang memberi ruang bagi pria untuk mengungkapkan luka emosional, trauma ini kerap dipendam sendiri. Mereka jarang mencari bantuan psikologis, apalagi bercerita terbuka. Akibatnya, keputusan untuk tidak menikah dianggap sebagai pilihan rasional, padahal di dalamnya ada jeritan yang tidak terdengar.
Meski begitu, tidak semua pria yang mengalami trauma memilih untuk menutup diri sepenuhnya. Beberapa justru menjadikan pengalaman pahit itu sebagai pelajaran hidup yang memperkuat mereka. Namun tetap saja, banyak yang merasa perlu waktu panjang untuk menyembuhkan diri, dan hingga saat itu tiba, menikah bukanlah hal yang masuk dalam rencana hidup mereka. Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat untuk lebih memahami bahwa tidak semua pria lajang adalah pria yang “tak laku” atau “tak bertanggung jawab”. Sebagian dari mereka sedang berjuang berdamai dengan masa lalu yang penuh luka. Menghormati keputusan mereka, serta memberi ruang bagi proses penyembuhan, adalah bagian dari empati sosial yang dibutuhkan zaman ini.
“Orang tua saya bercerai dengan buruk. Saya tidak ingin mengulangi pola yang sama,” kata Yoga (33), seorang freelance videografer.
Selain itu, pengalaman pribadi dalam hubungan asmara yang gagal atau ditinggalkan pasangan juga menciptakan luka psikologis mendalam yang sulit dipulihkan.
Takut Kehilangan Kebebasan dan Privasi
Pernikahan identik dengan kompromi. Dalam hubungan suami istri, keputusan besar tidak bisa diambil sepihak. Banyak pria menganggap pernikahan akan membatasi ruang gerak mereka dari soal waktu nongkrong, hobi, hingga karier. Di balik keputusan banyak pria untuk tidak menikah, terselip sebuah alasan yang kerap disalahpahami: ketakutan akan kehilangan kebebasan dan privasi. Dalam masyarakat modern yang semakin individualistik, konsep pernikahan sering kali dipandang sebagai sesuatu yang membatasi ruang gerak, mengikis waktu pribadi, dan bahkan mengubah identitas diri seseorang. Bagi sebagian pria, ketakutan ini bukan sekadar ketakutan kosong, melainkan kekhawatiran yang lahir dari pengamatan, pengalaman, dan narasi sosial yang berulang kali mereka dengar.
Kebebasan adalah nilai yang begitu dijunjung tinggi oleh generasi pria saat ini. Setelah melalui masa muda yang penuh eksplorasi dan pengembangan diri, banyak dari mereka merasa nyaman dengan rutinitas dan gaya hidup mandiri yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Mereka terbiasa membuat keputusan sendiri tentang pekerjaan, gaya hidup, hobi, hingga cara menghabiskan waktu luang tanpa perlu berdiskusi atau meminta persetujuan dari orang lain. Kehidupan seperti ini memberi rasa otonomi yang tinggi, dan dalam konteks ini, pernikahan kerap kali dianggap sebagai ancaman terhadap kemandirian tersebut.
Kekhawatiran ini semakin diperkuat oleh narasi populer di media dan lingkungan sosial. Banyak pria menyaksikan bagaimana teman atau kerabat yang telah menikah harus “berubah” demi keluarga. Waktu untuk diri sendiri semakin sedikit, ruang privat menyempit, dan aktivitas spontan menjadi langka. Tidak sedikit pula yang merasa bahwa setelah menikah, prioritas hidup harus selalu didahulukan untuk keluarga, bahkan dengan mengorbankan impian pribadi. Narasi ini membuat pernikahan terasa seperti akhir dari kebebasan yang selama ini dinikmati.
“Saya suka menyendiri, punya waktu untuk diri sendiri. Saya tidak yakin bisa punya itu kalau menikah,” ujar Dafa (29), programmer yang memilih hidup solo.
Kebebasan ini menjadi nilai yang sangat dijunjung oleh pria modern, terutama yang terbiasa hidup sendiri di kota besar atau sudah mapan secara ekonomi.

Perubahan Peran Gender dan Ketidakpastian Relasi
Dunia telah berubah. Perempuan kini lebih berpendidikan, mandiri, dan tidak lagi menunggu dilamar. Sementara itu, banyak pria merasa bingung dengan peran mereka dalam hubungan yang setara tidak ingin menjadi patriark, tapi juga tidak ingin “terdominasi”. Transformasi sosial dalam beberapa dekade terakhir telah mengubah cara pria dan wanita memandang peran masing-masing dalam hubungan. Jika dulu pria dianggap sebagai pencari nafkah utama dan wanita sebagai pengurus rumah tangga, kini peran tersebut lebih fleksibel dan terbuka untuk negosiasi. Meski perubahan ini membuka ruang kesetaraan, di sisi lain juga menciptakan ketidakpastian baru terutama bagi pria yang merasa bingung menentukan peran yang tepat dalam dinamika relasi modern.
Ketika perempuan menjadi lebih mandiri secara ekonomi dan berani menentukan arah hidupnya sendiri, beberapa pria justru merasa posisinya sebagai “pemimpin rumah tangga” menjadi kabur. Hal ini menimbulkan kecemasan tersendiri, terutama bagi mereka yang dibesarkan dengan nilai-nilai tradisional. Mereka khawatir akan dianggap tidak cukup “macho” jika tidak bisa memenuhi ekspektasi lama, sementara tuntutan zaman menuntut fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi yang tidak semua orang siap menjalaninya.
Tak hanya itu, relasi modern juga kerap kali dianggap rapuh dan penuh risiko. Tingginya angka perceraian, banyaknya kasus perselingkuhan, hingga relasi yang terjebak dalam ketidakjelasan status membuat sebagian pria semakin skeptis terhadap komitmen jangka panjang. Ketidakpastian ini menjadi alasan mengapa banyak pria lebih memilih menunda atau bahkan menghindari pernikahan sama sekali, bukan karena takut berkomitmen, tetapi karena tidak ingin terjebak dalam sistem yang mereka rasa belum bisa menjamin keamanan emosional maupun sosial.
“Saya takut salah bersikap. Salah-salah, saya dianggap toxic atau tidak menghargai perempuan,” keluh Bayu (32), seorang pekerja startup.
Ketidakpastian ini membuat sebagian pria memilih mundur. Mereka merasa lebih aman hidup sendiri daripada harus menavigasi relasi yang kompleks dan penuh tekanan moral.
Ketakutan Terhadap Perceraian dan Biaya Hukumnya
Angka perceraian meningkat. Di Indonesia, data Pengadilan Agama menunjukkan bahwa kasus perceraian meningkat lebih dari 15% selama lima tahun terakhir, dengan alasan terbanyak adalah perselisihan terus-menerus. Bagi banyak pria, bayangan pernikahan tidak lagi sekadar soal cinta dan kebersamaan, tapi juga soal risiko besar: perceraian. Ketakutan akan perpisahan yang menyakitkan menjadi salah satu faktor yang cukup dominan dalam keputusan untuk tidak menikah. Dalam benak mereka, perceraian bukan hanya tentang hubungan yang kandas, tetapi juga tentang dampak psikologis, sosial, hingga finansial yang tidak bisa dianggap sepele.
Baca Juga: Fenomena Pria Workaholic, Etos Kerja Tinggi dan Risiko Kesehatan
Perceraian seringkali menimbulkan beban hukum yang kompleks dan mahal. Mulai dari proses mediasi, pembagian aset, hingga hak asuh anak yang memakan waktu dan tenaga, semuanya membuat sebagian pria merasa gentar untuk mengambil langkah pernikahan. Tak sedikit dari mereka yang mengetahui pengalaman teman atau keluarga yang hancur secara emosional dan keuangan akibat perceraian. Biaya pengacara, pengadilan, dan potensi kehilangan sebagian besar harta benda menjadi momok yang sulit diabaikan.
Selain itu, dalam beberapa kasus, sistem hukum dianggap tidak selalu berpihak secara adil. Ada ketakutan bahwa dalam situasi perceraian, hak-hak pria sebagai ayah atau suami bisa terpinggirkan, apalagi jika harus menghadapi proses panjang yang melelahkan secara emosional. Kombinasi antara tekanan emosional dan beban ekonomi inilah yang membuat sebagian pria memilih untuk tidak menikah sama sekali, dengan harapan menghindari risiko kehilangan kendali atas hidup mereka di kemudian hari.
Selain trauma emosional, proses perceraian juga bisa sangat melelahkan secara finansial dan hukum. Beberapa pria bahkan menganggap menikah sebagai “investasi yang terlalu berisiko”.
“Kalau cerai, bukan cuma kehilangan pasangan, tapi juga anak, rumah, dan separuh harta,” ujar Wawan (38), yang memilih melajang seumur hidup.
Tekanan Sosial Mulai Bergeser Tidak Menikah Bukan Aib
Zaman dulu, pria yang tidak menikah di usia 30-an akan dianggap “tidak laku”, “tidak bertanggung jawab”, atau bahkan “aneh”. Tapi kini, persepsi itu mulai memudar. Di masa lalu, tidak menikah di usia tertentu seringkali dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, terutama bagi pria yang dipandang sebagai pemimpin keluarga. Namun, tekanan sosial itu perlahan mulai bergeser. Di era modern, pandangan masyarakat terhadap status lajang semakin longgar, bahkan di kalangan yang sebelumnya konservatif. Pria yang memilih tidak menikah tak lagi langsung dicap sebagai gagal, menyimpang, atau belum “dewasa”, melainkan seringkali dianggap sedang menempuh pilihan hidup yang sah.
Normalisasi gaya hidup single ini banyak dipengaruhi oleh perubahan nilai-nilai dalam masyarakat urban, di mana kesuksesan, kemandirian, dan kebahagiaan personal menjadi tolak ukur baru dalam menilai kualitas hidup seseorang. Banyak pria yang merasa tidak perlu terburu-buru menikah hanya demi memenuhi ekspektasi sosial. Mereka lebih memilih membangun karier, mengejar hobi, atau memperbaiki kualitas hidup tanpa merasa tertekan oleh pertanyaan “kapan menikah” yang dulu sering jadi momok.
Di media sosial, figur publik dan influencer juga berperan dalam mengubah narasi ini. Banyak yang secara terbuka membagikan kisah hidup sebagai pria single yang tetap bahagia, mapan, dan produktif. Representasi ini menciptakan ruang aman bagi pria-pria lainnya untuk menjalani hidup tanpa stigma negatif. Mereka yang dulunya merasa “salah” karena belum menikah, kini bisa berdiri lebih tegak, karena masyarakat mulai memahami bahwa kebahagiaan dan kedewasaan tidak selalu harus dibuktikan lewat pernikahan. Keluarga dan masyarakat mulai menerima bahwa setiap orang punya pilihan hidup masing-masing. Beberapa komunitas bahkan mendorong gaya hidup childfree atau solo life sebagai bentuk kebebasan pribadi.
Pengaruh Media dan Budaya Populer
Film, musik, dan media sosial punya andil besar dalam membentuk cara pandang pria terhadap pernikahan. Karakter pria lajang sukses dan bahagia kerap diangkat sebagai tokoh utama, memperkuat narasi bahwa pernikahan bukan satu-satunya jalan hidup. Media massa dan budaya populer memainkan peran besar dalam membentuk pandangan generasi saat ini terhadap pernikahan. Film, serial televisi, lagu, hingga konten di media sosial kerap menampilkan kehidupan lajang sebagai sesuatu yang menyenangkan, bebas, dan penuh petualangan. Sosok pria single digambarkan sebagai pribadi yang sukses, stylish, dan memiliki kendali penuh atas hidupnya, tanpa harus terikat oleh komitmen pernikahan yang dianggap membatasi ruang geraknya.
Selain itu, banyak karya budaya pop yang justru menyoroti sisi gelap dari pernikahan—mulai dari konflik rumah tangga, perselingkuhan, hingga perceraian yang menyakitkan. Gambaran semacam ini, meski fiktif, tetap berdampak pada cara pandang penonton, terutama pria muda yang sedang mencari identitas dan arah hidup. Mereka mulai mempertanyakan, apakah menikah benar-benar membawa kebahagiaan, atau justru membuka potensi luka yang lebih dalam?
Di media sosial, tren seperti self-love, healing, dan personal growth semakin mendominasi narasi kehidupan generasi masa kini. Influencer dan konten kreator yang menonjolkan kebebasan hidup tanpa pasangan, serta pentingnya mencintai diri sendiri sebelum berkomitmen dengan orang lain, ikut memperkuat pilihan untuk tetap sendiri. Secara tidak langsung, media dan budaya populer telah menciptakan lingkungan yang memberi validasi atas keputusan pria untuk tidak menikah, bukan sebagai bentuk kegagalan, tetapi sebagai manifestasi kontrol atas hidup mereka sendiri.
Contoh: Karakter-karakter seperti Tony Stark (Iron Man), Batman, atau tokoh-tokoh dalam serial “How I Met Your Mother” dan “Suits” menunjukkan bahwa pria bisa hidup penuh pencapaian tanpa menikah.
Spiritualitas dan Fokus Internal
Sebagian pria memilih jalur spiritual: menjadi lebih religius, aktif di komunitas, atau mengejar kebijaksanaan hidup. Mereka merasa bisa hidup penuh tanpa kehadiran pasangan, asalkan hidup mereka punya makna.
Tabel Alasan Umum Pria Tidak Menikah (Data Survei Nasional)
Alasan Utama | Persentase (%) |
---|---|
Masalah Ekonomi | 62% |
Fokus Karier atau Pendidikan | 48% |
Trauma/Pengalaman Buruk | 36% |
Tidak Menemukan Pasangan Cocok | 31% |
Ingin Bebas dan Mandiri | 28% |
Takut Perceraian atau Konflik | 25% |
Pilihan Hidup (spiritual, pribadi) | 19% |
Tidak Menikah Bukan Lagi Stigma
Fenomena pria tidak menikah adalah refleksi dari perubahan besar dalam struktur sosial, ekonomi, dan nilai budaya. Di satu sisi, ini adalah bentuk kebebasan memilih. Di sisi lain, ini menunjukkan ada tantangan besar yang belum selesai mulai dari tekanan ekonomi, ketidaksetaraan hubungan, hingga krisis identitas. Pernikahan memang bukan satu-satunya jalan menuju bahagia. Namun, penting untuk memastikan bahwa pilihan tidak menikah bukanlah pelarian dari trauma atau ketakutan, melainkan keputusan sadar dan dewasa. Fenomena pria yang memilih untuk tidak menikah bukan lagi sekadar pilihan individual, melainkan cerminan dari perubahan besar dalam struktur sosial, budaya, dan psikologis masyarakat modern. Dari tekanan ekonomi yang semakin tinggi, ketidakpastian relasi, hingga pengaruh budaya populer, semuanya membentuk lanskap baru yang membuat institusi pernikahan tidak lagi menjadi tujuan hidup utama bagi sebagian pria. Tidak menikah kini bukan sekadar opsi cadangan, melainkan keputusan yang penuh pertimbangan dan kesadaran.
Perubahan ini juga menunjukkan bahwa narasi tradisional tentang kedewasaan dan keberhasilan hidup perlahan mulai tergeser. Pria tidak lagi merasa perlu membuktikan nilai dirinya melalui pernikahan. Sebaliknya, mereka lebih fokus pada kestabilan emosional, kebebasan pribadi, serta pencapaian karier dan aktualisasi diri. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari semakin terbukanya ruang diskusi tentang kesehatan mental, relasi yang sehat, dan pentingnya hidup selaras dengan diri sendiri. Namun demikian, pilihan untuk tidak menikah bukan berarti anti terhadap komitmen atau cinta. Banyak pria tetap menjalin relasi yang bermakna di luar ikatan pernikahan formal. Dunia berubah, dan bersama itu, cara kita memaknai kebahagiaan, kedewasaan, dan relasi pun turut berevolusi. Ke depan, mungkin bukan status pernikahan yang penting, melainkan kualitas hubungan dan kepuasan hidup yang dirasakan masing-masing individu.
Penulis: Defani Yusanto/Mascoolin.
Editor: Defani Yusanto/Mascoolin.
Tinggalkan Balasan