Pergeseran Makna Maskulinitas, Pria Tak Lagi Harus Tangguh



Dulu, menjadi pria identik dengan ketegasan, kekuatan fisik, dan dominasi dalam keluarga. Maskulinitas dibentuk oleh norma tradisional yang mengharuskan pria untuk tampil kuat, pendiam, dan jauh dari sisi emosional. Namun kini, lanskap sosial berubah. Pria tak lagi diukur dari kekuatannya menahan air mata, melainkan dari keberaniannya mengekspresikan perasaan. Pergeseran makna maskulinitas ini tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir dari perkembangan zaman yang ditandai oleh terbukanya diskusi soal gender, meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental, dan munculnya representasi pria yang lebih kompleks dalam media. “Dulu ayah saya sangat keras, tidak pernah membicarakan perasaan,” ujar Arya (35), seorang profesional di bidang teknologi. “Sekarang saya justru belajar bahwa menjadi ayah bukan cuma soal memberi nafkah, tapi juga hadir secara emosional untuk anak-anak saya.”

Dari Kaku ke Fleksibel

Maskulinitas tradisional menempatkan pria dalam kerangka yang sempit. Sosok pria ideal adalah yang berani, dominan, tahan banting, dan tidak pernah mengeluh. Menangis dianggap tabu, merawat diri dicibir sebagai perilaku ‘kurang jantan’. Namun seiring waktu, banyak pria mulai mempertanyakan standar tersebut. Mereka tidak lagi ingin dikurung dalam citra yang mengharuskan mereka untuk selalu tampak kuat. Maskulinitas kini semakin inklusif dan fleksibel, memberikan ruang untuk menjadi lebih otentik dan manusiawi. Generasi muda, terutama dari kalangan menengah ke atas, lebih terbuka pada nilai-nilai seperti empati, kejujuran emosional, dan keseimbangan peran gender. Banyak dari mereka tidak segan mengambil cuti ayah, aktif dalam pengasuhan anak, atau berkonsultasi dengan psikolog jika menghadapi tekanan hidup.

“Being masculine today doesn’t mean being emotionless,” kata Arya. “It’s about being real.”

ilustrasi lingkungan kerja dalam sebuah kantor. Foto: Defani Yusanto/Mascoolin.

Media dan Budaya Pop: Agen Perubahan

Media massa dan budaya pop menjadi kekuatan besar dalam mendobrak batas maskulinitas lama. Film, serial, dan musik semakin banyak menghadirkan karakter pria yang kompleks: emosional, penuh dilema, namun tetap kuat. Figur publik seperti Harry Styles, Timothée Chalamet, hingga atlet seperti Lewis Hamilton membuka jalan bagi pria untuk tampil ekspresif tanpa malu. Media sosial memperkuat narasi ini. Di platform seperti Instagram dan TikTok, pria-pria muda tak ragu membicarakan isu kesehatan mental, pentingnya perawatan diri, hingga pembagian peran rumah tangga. Mereka membagikan cerita tentang menjadi suami yang suportif, ayah yang lembut, atau laki-laki yang sedang berjuang melawan depresi. Representasi baru ini membantu membentuk pemahaman kolektif bahwa maskulinitas tidak hanya tentang otot atau dominasi, tetapi juga tentang keberanian untuk peduli pada diri sendiri dan orang lain.

Baca Juga: Pandangan Wanita soal Pria Perokok, Antara Keren dan Bahaya

Nilai Lama Masih Bertahan

Namun bukan berarti maskulinitas tradisional hilang begitu saja. Bagi sebagian pria, terutama generasi yang lebih tua, nilai-nilai seperti keberanian, tanggung jawab, dan menjadi tulang punggung keluarga tetap penting. Bapak Hartono (62), seorang pengusaha, masih berpegang pada prinsip bahwa pria sejati harus mampu memimpin dan melindungi. “Prinsip itu tidak salah,” ujar Dr. Anita Rahmawati, sosiolog dari Universitas Indonesia. “Tantangannya adalah bagaimana kita menyelaraskan nilai-nilai itu dengan kebutuhan zaman.” Di sinilah titik temu antara dua generasi mulai tampak. Banyak pria muda tetap menjunjung tinggi tanggung jawab, kerja keras, dan kepemimpinan namun dengan pendekatan yang lebih inklusif, lebih dialogis, dan terbuka terhadap keragaman pMerancang Maskulinitas yang Sehat

Pergeseran ini menunjukkan bahwa maskulinitas bukan konsep mati. Ia dinamis, dapat tumbuh dan beradaptasi sesuai dengan konteks sosial dan budaya. Pria modern tidak harus memilih antara menjadi “kuat” atau “lembut”. Mereka bisa menjadi keduanya sekaligus menjadi pemimpin yang berempati, pasangan yang mendukung, dan ayah yang hadir. Keseimbangan inilah yang dibutuhkan untuk membangun maskulinitas yang sehat. Sebuah maskulinitas yang tidak menekan, tidak merusak, tetapi memberi ruang bagi pria untuk menjadi manusia seutuhnya.

Penulis: Defani Yusanto/Mascoolin.

Penulis: Defani Yusanto/Mascoolin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *