Gandhi merupakan sosok yang penting dalam pembelaan kesetaraan di India. Menjadi sosok perempuan di India bukan hanya soal identitas, tetapi juga perjuangan. Di negara dengan populasi lebih dari satu miliar jiwa ini, sistem sosial yang mengakar telah lama menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara. Sejak lahir, banyak perempuan India menghadapi ekspektasi sosial yang berat: harus patuh, harus menikah muda, dan harus menanggung beban keluarga dalam sunyi. Ketimpangan ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan karena sistem patriarki yang telah diwariskan turun-temurun dan masih dijaga oleh banyak kelompok konservatif. Tradisi dan norma yang berlaku di masyarakat memperkuat ketidakadilan tersebut. Salah satu contohnya adalah praktik dowry culture, atau budaya mas kawin, yang mengharuskan pihak perempuan memberikan harta atau uang kepada keluarga laki-laki saat pernikahan.
Meski terlihat seperti kewajiban keluarga, pada kenyataannya sistem ini kerap menyebabkan pelecehan, penelantaran, hingga kekerasan fisik dan psikologis terhadap perempuan. Banyak kasus tragis di mana perempuan disiksa atau bahkan dibunuh karena dinilai tidak membawa mas kawin yang cukup. Praktik ini menjadikan pernikahan sebagai transaksi, bukan kemitraan yang setara.Dalam kondisi yang serba tidak adil ini, sosok Mahatma Gandhi tampil sebagai pengecualian. Ia tidak hanya menjadi simbol perjuangan kemerdekaan dari Inggris, tetapi juga tokoh moral yang menolak sistem sosial patriarkis. Gandhi melihat langsung bagaimana perempuan di India dibatasi ruang geraknya oleh budaya dan agama, serta diabaikan suaranya dalam proses politik dan sosial. Ia meyakini bahwa kemerdekaan sejati tidak akan tercapai tanpa kebebasan bagi seluruh masyarakat termasuk perempuan.
Patriarki dan Budaya Kekerasan di India
Patriarki di India bukan hanya soal dominasi laki-laki dalam rumah tangga, tetapi juga sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan, dari tingkat keluarga hingga lembaga negara. Dalam banyak kasus, perempuan tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan, bahkan terhadap hidupnya sendiri. Mereka dibatasi dalam pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan bergerak. Sejak kecil, anak perempuan diajarkan untuk menunduk dan melayani, sementara anak laki-laki diajarkan untuk memimpin dan memerintah.

Masalah ini diperparah oleh tingkat kekerasan terhadap perempuan yang sangat tinggi. Data dari lembaga pemerintah India mencatat bahwa pada tahun 2020, lebih dari 112.000 laporan kekerasan terhadap perempuan diterima oleh kepolisian. Ini mencakup kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, pelecehan, dan tindak kriminal lainnya. Namun, banyak kasus lain tidak pernah dilaporkan karena stigma, tekanan sosial, dan ketakutan terhadap keluarga pelaku. Kondisi ini memperlihatkan betapa dalamnya patriarki tertanam di kehidupan sehari-hari dan betapa lemahnya sistem perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
Selain itu, sistem hukum dan penegakan keadilan di India kerap kali gagal melindungi korban. Banyak pelaku kekerasan dibebaskan karena kurang bukti, intervensi politik, atau tekanan dari keluarga. Akibatnya, perempuan enggan melapor dan merasa tidak aman. Inilah sebabnya mengapa Gandhi melihat perlawanan terhadap patriarki sebagai bagian dari perjuangan moral dan nasional: sebuah bangsa tidak bisa dianggap merdeka jika separuh penduduknya masih diperbudak oleh ketakutan dan ketidakadilan.
Baca Juga : Batas Aman Konsumsi Gula dan Dampaknya bagi Kesehatan
Gandhi Melibatkan Perempuan dalam Perjuangan
Mahatma Gandhi menempatkan kesetaraan gender sebagai nilai inti dari perjuangan sosialnya. Ia menolak pembagian peran yang kaku antara laki-laki dan perempuan. Dalam pandangannya, perempuan tidak boleh dibatasi pada urusan domestik saja, seperti mengurus rumah atau anak. Mereka juga berhak menjadi pendidik, pekerja, politisi, dan pemimpin masyarakat. Gandhi mengajak masyarakat untuk mengubah cara pandang terhadap perempuan, dari objek yang pasif menjadi subjek yang aktif. Salah satu kontribusi besar Gandhi adalah mendorong perempuan untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan India. Ia memberikan ruang bagi mereka untuk berbicara, memimpin demonstrasi, serta menjalankan kegiatan sosial-politik.
Bagi Gandhi, perempuan bukan hanya pengikut, tetapi bagian penting dari gerakan nasionalis. Ia bahkan memuji keberanian banyak perempuan yang berani turun ke jalan, meski dihadang oleh kolonialisme dan stigma masyarakat. Selain partisipasi politik, Gandhi juga menekankan pentingnya pendidikan perempuan. Menurutnya, perempuan yang terdidik akan mampu mengangkat derajat keluarganya, membebaskan diri dari ketergantungan, dan memberikan kontribusi besar bagi bangsa. Ia membangun sekolah-sekolah sederhana dan kampanye literasi agar perempuan bisa membaca, menulis, dan berpikir kritis. Pendidikan bukan hanya soal akademis, tetapi juga pembebasan mental dari doktrin yang membatasi.
Warisan yang Menginspirasi
Perjuangan Gandhi dalam membela hak perempuan di India masih dikenang hingga kini. Ia memang tidak bisa menghapus patriarki dalam semalam, namun nilai-nilainya terus menginspirasi gerakan feminis modern di India dan dunia. Prinsip Ahimsa (non-kekerasan) yang ia ajarkan menjadi dasar dalam banyak gerakan hak asasi manusia yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial. Hingga hari ini, tantangan terhadap patriarki masih terus berlangsung. Namun, keberanian Gandhi untuk berdiri melawan sistem yang tidak adil telah membuka jalan bagi banyak aktivis dan tokoh perempuan India, seperti Medha Patkar, Vandana Shiva, dan Malala Yousafzai di negara tetangga. Warisan Gandhi membuktikan bahwa perubahan sosial besar dapat dimulai dari kesadaran kecil, dari keberanian untuk berkata tidak terhadap ketidakadilan.
Kesimpulan
Perjuangan melawan patriarki di India masih panjang, tetapi langkah Gandhi telah menanamkan benih perubahan. Ia menegaskan bahwa perempuan bukan beban atau pelengkap, melainkan kekuatan utama dalam pembangunan bangsa. Melalui pendidikan, partisipasi aktif, dan penolakan terhadap kekerasan, Gandhi memperjuangkan masyarakat yang lebih adil dan setara. Hari ini, perjuangan itu terus dilanjutkan oleh banyak perempuan India yang tidak lagi diam, tetapi bersuara dan bertindak.
Penulis: Defani Yusanto / Mascoolin.
Editor: Defani Yusanto / Mascoolin.